Maharani saya pungut dari parit dekat sekolah saya. Saya kasihan melihat kucing kecil kurus berbulu kuning yang berlepotan lumpur itu mengeong-ngeong lemah. Dengan dibungkus kertas dari buku tulis yang saya robek, saya bawa Maharani pulang.
Sampai di rumah, ibu saya berteriak-teriak marah karena saya bawa kucing kampung kotor ke rumah. Tanpa bisa menjelaskan apa-apa ke ibu, saya bawa Maharani ke kamar mandi belakang untuk dibersihkan. Karena lemahnya, Maharani sama sekali diam saja sewaktu saya bersihkan. Bahkan sewaktu saya sikat kotoran di badannya dengan sikat gigi bekas, Maharani tetap tidak bereaksi.
Setelah bersih, saya coba untuk memberi makan. Saya buatkan susu, tapi Maharani diam saja dan tidak menyentuh susu yang saya sodorkan. Saya jadi bingung, karena baru kali ini saya berusaha memberi susu kucing kecil seperti ini. Saya cuma tahu kucing sekecil ini seharusnya masih disusui oleh induknya. Pikir-punya pikir, saya celupkan jari telunjuk saya ke susu dan saya oleskan ke mulutnya. Maharani mulai bereaksi dengan menjilat-jilat mulutnya. Saya senang, dan begitulah caranya pertama sekali saya memberinya susu.
Melihat kucing kecil kotor tadi sudah bersih, ibu mau mendekat bahkan memberikan potongan ikan kecil yang sudah ibu giling jadi halus. Bahkan ibu mengusulkan nama Maharani untuk kucing itu. Saya setuju saja, sebab baru kali ini saya lihat ibu mau peduli dengan kucing.
Maharani tumbuh besar dan jadi kucing yang tidak rewel. Dia makan apa saja yang saya berikan. Dan tidak pernah mengotori karpet ibu. Saya tidak tahu dimana dia buang kotoran, tapi yang jelas tidak pernah tercium bau kotoran kucing di rumah.
Delapan bulan lamanya Maharani sudah bersama keluarga saya. Sampai suatu sore, saya tidak melihatnya ada di halaman belakang. Tapi saya tidak khawatir karena Maharani biasa kelayapan sampai malam. Tiba-tiba pembantu saya menjerit memanggil saya. Saya lari ke halaman depan dan kira-kira 50 meter dari pintu gerbang pagar, saya lihat pembantu saya menunjuk-nunjuk ke tanah. Saya kaget setengah mati melihat sosok berbulu kuning yang ditunjuk-tunjuk itu. Maharani !
Saya mendekatinya perlahan dengan sangat ketakutan. Saya tahu apa yang terjadi, tapi saya tidak ingin tahu seberapa parah luka yang dideritanya. Dengan menguatkan hati, saya melihatnya. Maharani masih hidup, tapi justru itu yang membuat saya sangat sedih. Karena kondisinya sangat-sangat parah. Bulu kuningnya bercampur noda darah dan rahangnya sudah remuk. Dengan lidah terjulur hampir putus, saya melihat mata Maharani menatap saya dengan napas tersengal-sengal. Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus membawanya ke dokter? Dengan kondisi hampir remuk begini, bahkan untuk menyentuhnya saya sudah sangat tidak tega. Seberapa sakit yang ditahankan olehnya? Maharani hanya tergolek tak berdaya.
Saya berdoa agar Maharani segera mati dan tidak lebih lama lagi menahankan sakit. Dalam hati saya mengutuk geram penabrak Maharani. Satu jam lamanya saya menungguinya di tepi jalan, sampai akhirnya saya lihat napas Maharani sudah berhenti. Selesai sudah penderitaannya. Pembantu saya sudah datang dengan membawa kain. Saya mengangkat badannya yang seakan tak bertulang, membungkusnya dengan kain dan membawanya pulang. Sama seperti saat saya menemukannya pertama kali. Hanya saja kali ini saya membawanya pulang untuk dikuburkan…
Maya Astari
Artikel ini sudah dibaca: 7988 kali.